Oleh : Teguh Indarmaji (Ketua Badan Advokasi Hukum NasDem Riau)
BEBERAPA minggu ini, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer aktif di jagat maya menangani perusahaan yang diduga menahan ijazah mantan karyawan. Yang paling viral, inspeksi mendadak (sidak) Immanuel ke perusahaan di Surabaya dan perusahaan tour and travel di Pekanbaru.
Ijazah merupakan dokumen milik pribadi yang setiap orang tidak boleh mengambil dan atau menguasai tanpa izin pemiliknya. Dalam dunia kerja, praktik penahanan ijazah ini sangat sering terjadi. Penahanan ijazah karyawan tanpa alasan hukum tentunya berpotensi melanggar hak asasi karyawan selaku pemilik ijazah.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan ketentuan dalam hukum, antara lain Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penahanan ijazah bertentangan dengan kedua pasal ini karena membatasi hak karyawan untuk berpindah kerja, mengakses pendidikan dan atau kesempatan lain.
Selain itu, penahanan ijazah juga bertentangan dengan Pasal 28 G Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, setiap orang berhak atas pelindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harga diri dan harta benda yang di bawah kekuasannya. Serta Pasal 28 H Ayat 4, setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Dalam hukum pidana, praktik penahanan ijazah dapat termasuk tindak pidana dengan sangkaan Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan, Pasal 372 (Penggelapan) dan Pasal 421 (Penyalahgunaan Kekuasaan). Selain itu, penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI 158 K/ Pid/ 2006, selain itu juga ada Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/ 2019/ PN Ternate, Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 205/ Pdt.G/ 2019/ PN Sidoarjo dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 583 k/ Pdt.Sus/ 2020/PHI.
Kesimpulan dalam putusan pengadilan tersebut, penahanan ijazah merupakan tindakan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan hak-hak pekerja. Hal ini membuktikan bahwa penahanan ijazah merupakan perbuatan yang sangat merugikan hak karyawan.
Bolehkah perusahaan menahan ijazah karyawan ? berdasarkan Pasal 95 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 berbunyi, segala akibat yang timbul dari hubungan kerja yang dilakukan secara tidak tertulis mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan hubungan kerja yang dibuat secara tertulis.
Pasal ini memberikan celah kepada perusahaan atau pengusaha untuk melakukan penahanan ijazah karyawan dengan dasar perjanjian maupun kontrak kerja. Jika dalam perjanjian tersebut tidak dibuat secara tertulis klausul tentang penyerahan ijazah sebagai jaminan kerja oleh perusahaan dan karyawan, maka ijazah yang ditahan tetap tidak dapat dibenarkan.
Namun meskipun dibuat secara eksplisit persetujuan karyawan tentang penahanan ijazah sebagai jaminan kerja, tetap memiliki kelemahan dari sisi hukum. Sebab adanya posisi yang tidak seimbang antara karyawan dan pekerja. Syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dapat dipenuhi, sebab bertentangan dengan asas iktikad baik dan sepakat.
Dua asas ini tentunya tidak terpenuhi secara sempurna karena adanya perbedaan posisi. Perusahaan tentu lebih dominan sebagai pemberi informasi kerja. Sementara karyawan sebagai pihak yang menginginkan pekerjaan secara terpaksa harus mau memenuhi keinginan perusahaan agar bisa bekerja sehingga kata sepakat muncul dengan keterpaksaan. Iktikad baik perusahaan bersifat absurd karena posisinya yang lebih dominan sehingga dapat menjadikan perjanjian dibatalkan dan atau batal demi hukum.
Penahanan Ijazah karena Hal Tertentu
Meskipun penahanan ijazah secara eksplisit tidak diatur dalam ketentuan ketentuan perundangan, menurut hemat penulis, penahanan ijazah dapat dilakukan perusahaan dalam keadaan tertentu. Misalnya jika seorang karyawan melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.
Maka secara hukum sepatutnya perusahaan dapat melakukan upaya hukum terhadap karyawan tersebut. Namun karena adanya iktikad baik dari perusahaan dan lebih mengedepankan proses kekeluargaan, dengan meminta karyawan melakukan ganti rugi terhadap kerugian perusahaan, penahanan ijazah dapat dilakukan sebagai jaminan sampai karyawan dapat menyelesaikan tanggung jawabnya.
Sebab, ijazah merupakan dokumen penting dan berharga dapat menjadi jaminan agar karyawan tersebut terdorong melakukan kewajiban sampai selesai, tentunya dengan disertai penyerahan dan kesepakatan secara tertulis antara karyawan dan perusahaan.
Kasus penahanan ijazah ini bukanlah hal baru dan termasuk urgen dalam dunia ketenagakerjaan di Riau. Banyaknya aturan yang lebih tinggi dapat dijadikan dasar perlindungan hukum bagi karyawan yang ijazahnya ditahan.
Maka Gubernur Riau Abdul Wahid tidak perlu menerbitkan peraturan gubernur (pergub) yang mengatur tentang larangan penahanan ijazah. Jika karena viral sidak Wakil Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan pergub, maka sebaiknya diurungkan saja.
Kita sebaiknya mendesak Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan agar pekerja di seluruh Indonesia dapat merasakan manfaatnya. Wakil menteri yang gencar melakukan sidak membisikkan ke menteri agar mengeluarkan peraturan ketenagakerjaan tentang larangan perusahaan menahan ijazah karyawan. Jika menteri mengeluarkan peraturan, maka karyawan seluruh Indonesia terlindungi dan efek dari kinerja wakil menteri turun langsung lebih terasa serta menjadi sebuah kebijakan nasional.
Kita mendorong Gubernur Riau meninjau lagi kepatuhan perusahaan terhadap pelaksanaan pemberian upah kerja sesuai UMR dan UMK, pelaksanaan jam kerja sesuai aturan, pemberian upah lembur jika pekerja bekerja melebihi jam kerja, serta pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja. Hal ini sepertinya lebih primer untuk diperjuangkan.
Penahanan ijazah ini case by case saja, sarana penyelesaian sengketa juga sudah ada di dinas tenaga kerja. Gubernur cukup menginstruksikan agar dinas terkait lebih ekstra dan proaktif dalam mengawasi perusahaan tentang kepatuhan melaksanakan aturan ketenagakerjaan dan undang-undang, minta laporan secara rutin agar gubernur dapat melakukan tugas lain . (*)