SIAK (KR) Langkah kubu petahana Calon Bupati dan Wakil Bupati Siak Alfedri-Husni menggugat hasil pleno KPU Siak diprediksi ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, KPU Siak sudah menetapkan Calon Bupati dan Wakil Bupati Siak Afni-Syamsurizal sebagai peraih suara terbanyak.
Berbagai reaksi muncul, bahkan penolakan dari beberapa tokoh masyarakat yang mengharapkan konflik politik ini segera berakhir. Tidak dipungkiri, pemilihan kepala daerah (pilkada) yang seharusnya selesai setelah KPU Siak menggelar pleno 5 Desember 2024, kini malah berlarut.
Hal ini disebabkan incumbent yang tidak menerima hasil pilkada. Dampaknya, masyarakat menjadi bingung siapa sebenarnya yang menjadi pemimpin mereka. Tak hanya itu, kubu-kubu tercipta di tengah masyarakat sebagai efek pilkada belum berakhir.
Mantan Ketua KPU Riau Ilham Muhammad Yasir berpendapat meskipun selisih suara antara Afni-Syamsurizal dengan Alfedri-Husni hanya 224 suara, petahana akan sulit membuktikan dia lebih unggul.
“Karena pemohon harus mendalilkan bahwa ada kekeliruan KPU Siak dalam menetapkan 02 (Afni-Syamsurizal), dan harus mendalilkan bahwa pemohonlah yang seharusnya ditetapkan, dengan memaparkan angka-angkanya unggul versi pemohon,” ujar Ilham.
Ilham menambahkan pemohon harus membuktikan satu persatu, dengan menghadirkan angka-angka di TPS, di nomor berapa locus yang menurut penghitungan pemohon.
Ilham menjelaskan sengketa di MK biasanya terbagi menjadi beberapa jenis putusannya. Yakni diterima, tidak diterima, dikabulkan sebagian atau keseluruhan dan tidak dikabulkan.
“Analisis saya permohonannya berpeluang tidak dikabulkan seluruhnya. Karena pemohon terlalu kesulitan untuk bisa membuktikan dalil-dalil permohonan karena tidak punya alat bukti yang didukung dengan saksi-saksi yang selaras,” jelas Ilham.
Dalam tulisannya berjudul ‘Menelaah Sengketa di MK’ yang dimuat di Riau Pos, Ilham menceritakan terobosan yang dilakukan MK sejak pilkada 2020. Ini pernah terjadi di Kota Banjarmasin, Boven Digoel dan Nabire serta beberapa daerah.
MK mengabaikan ketentuan selisih ambang batas yang melebihi persyaratan minimal. Namun, di substansi pokok permohonan teridentifikasi ada proses yang dilanggar dan tidak sesuai ketentuan oleh termohon.
Di Kota Banjarmasin, putusannya sebagian dikabulkan dan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS. Sedangkan di Nabire terkait pencalonan, permohonan dikabulkan seluruhnya. Di mana paslon peraih suara terbanyak didiskualifikasi sebagai paslon. Di seluruh TPS dilakukan pemungutan dan penghitungan suara ulang tanpa mengikutsertakan paslon tersebut.
Dalam praktiknya, jika tidak terpenuhi selisih ambang batas, permohonan langsung tidak diterima, melalui putusan sela (dismissal). MK pun kerap dijuluki sebagai “mahkamah kalkulator.”
Hanya fokus kepada hasil selisih angka-angka saja. Sementara substansi permohonan diabaikan, dan pemohon kehilangan kesempatan untuk membuktikan di MK. Inilah yang oleh para pakar HTN menyebutnya, sebuah terobosan progresif MK. Meskipun, ambang batas ini masih sebagai syarat formil.
Ilham berharap melalui pilkada Siak, bisa menghasilkan bupati yang representatif pilihan dan kehendak masyarakat, serta bisa mewujudkan itu saat menjabat.
“Ketika sudah menjabat bupati adalah untuk semua, tidak boleh terkelompok lagi antara yang mendukung dan tidak mendukung. Terkhusus Siak, menjadi percontohan bagi daerah-daerah lain,” harap Ilham. (FA)