PEKANBARU (KR) Wakil Ketua Bidang Tenaga Kerja DPW Partai NasDem Riau Devi Permata Sari mengharapkan Hari Buruh 1 Mei 2025 sebagai momentum pekerja menjadi subjek ekonomi, bukan sekadar alat produksi. Menurut Devi, negara bertanggung jawab menjamin kerja layak dan bermartabat, tidak hanya menyediakan lapangan usaha.
“Hari ini, Indonesia tetap berada di peringkat kelima terendah dalam hal upah minimum di Asia Tenggara. Kesejahteraan buruh masih bersifat simbolik daripada substansial,” kata Devi kepada Kanal Riau, Kamis (1/5).
Pengacara ini mengaku prihatin, meskipun setiap tahun diperingati Hari Buruh (May Day), kesejahteraan pekerja tidak beranjak. Pemerintah sudah menaikkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5 persen. Namun kebijakan itu belum sepenuhnya mengubah keadaan. Menurut Devi, masih banyak buruh bekerja di sektor informal tanpa kontrak tetap dan jaminan sosial serta jam kerja berlebihan.
“Di sektor formal pun, sistem outsourcing dan kontrak jangka pendek membuat posisi buruh sangat rentan. Selain itu, kebijakan seperti politik upah murah dan pemberangusan atau pelarangan serikat buruh pada perusahaan telah memperburuk kondisi buruh di Indonesia,” kata Devi.
Ia mengungkapkan tidak sedikit pula buruh yang merasa takut bersuara karena ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pembubaran serikat. Ini menunjukkan belum ada keseimbangan kekuatan pengusaha dan buruh, sesuatu yang seharusnya dijamin negara.
“Salah satu contohnya masalah yang viral saat ini. Banyak buruh yang bungkam dan tidak berani bicara ketika ijazahnya ditahan perusahaan. Mereka terpaksa kerja di perusahaan tersebut dengan kondisi yang tidak nyaman. Tidak sesuai beban kerja dengan upah yang mereka seharusnya diterima,” kata Devi.
Ia mengingatkan pemerintah sepanjang tahun 2024, Indonesia mengalami gelombang PHK yang signifikan, dengan lebih dari 77.965 tenaga kerja terkena PHK, meningkat 20,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Devi menjelaskan pemerintah perlu merubah paradigma dalam mengatasi PHK yang meningkat ini, seperti pendataan dan prediksi tren industri sehingga bisa merancang early intervention di sektor yang rawan kolaps atau pindah ke negara lain. Misalnya karena otomasi atau relokasi pabrik.
“Banyak buruh kehilangan pekerjaan karena keterampilan mereka tidak lagi relevan. Pemerintah perlu membuat pelatihan kerja gratis dan terintegrasi dengan kebutuhan industri masa depan. Seperti digitalisasi, manufaktur hijau dan energi baru,” kata Devi.
Ia mengusulkan pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan yang mempertahankan pekerja di tengah gelombang PHK. Seperti pemotongan pajak atau dukungan biaya pelatihan bagi buruh lama daripada merekrut pekerja baru.
“Perlu revitalisasi kebijakan yang lebih berpihak pada kebebasan berserikat dan berunding, karena buruh hanya bisa sejahtera bila punya daya tawar,” kata Devi. (FA)